Cerita ini sebenarnya dibuat tahun 2015 untuk mengikuti lomba cipta cerpen antarsekolah se-wilayah Jember Barat dan meraih juara 1. Selamat membaca ^_^
Diva adalah murid kelas delapan di Sekolah Menengah
Pertama Nusa Penida. Ia adalah murid yang cerdas, sopan, dan sangat berbakti
pada kedua orang tuanya. Kehidupannya sangat sederhana dan penuh dengan
kedisiplinan. Ayahnya bekerja sebagai seorang satpam dan ibunya sebagai buruh
cuci rumahan. Setiap pulang sekolah, Diva biasanya tidak langsung pulang ke
rumahnya, melainkan dia bekerja sebagai penjaga toko di samping sekolahnya.
Diva bekerja untuk membantu orang tuanya untuk membiayai sekolahnya dan seorang
adiknya.
Di kelas, Diva duduk dengan seorang anak pengusaha
bernama Windi. Berbeda dengan Diva, Windi adalah anak yang malas, tidak sopan,
dan tidak mau berbakti pada orang tuanya. Setiap hari selalu ada saja kesalahan
yang dilakukannya. Diantaranya seperti terlambat masuk sekolah, tidak
mengerjakan PR, serta membuat kegaduhan di kelas. Windi tidak mau bergaul
dengan anak orang tidak mampu seperti Diva. Saat di rumah, Windi selalu
dimanjakan oleh orang tuanya. Sementara itu, di depan kelas Ibu Guru Lina
sedang membacakan hasil ulangan.
“Diva mendapat nilai tertinggi yaitu sembilan puluh
delapan sedangkan yang mendapat nilai terendah adalah Windi yaitu empat puluh,”
ujar Bu Lina.
Setelah mengambil hasil ulangan, dengan perasaan
senang Diva mengucapkan alhamdulillah, tanda dia bersyukur kepada Allah atas
apa yang didapatkannya hari ini. Sementara Windi berkata dalam hati, “Kenapa
sih, Diva terus yang mendapat nilai bagus sedangkan aku enggak pernah?”.
Setelah berkata dalam hati, Windi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya
kepada Diva. “Diva, kenapa sih, kamu bisa mendapat nilai lebih bagus dari aku?”
“Karena aku selalu belajar dan selalu berdoa,” jawab
Diva.
“O iya, aku kemarin melihat kamu kerja di toko
sebelah. Apa benar itu kamu?” tanya Windi yang kebetulan kemarin melihat Diva
bekerja.
“Iya, itu aku.” Diva pun menjawab tanpa ada rasa
malu di hatinya.
“Ngomong-ngomong untuk apa kamu kerja? Bukannya ayah
dan ibumu sudah kerja?” tanya Windi penasaran.
“Gaji ayah dan ibuku hanya cukup untuk makan
sehari-hari dan membayar biaya sekolah adikku saja,” jawab Diva seraya
memasukkan hasil ulangannya ke dalam tas.
Beberapa hari kemudian, Diva dan Windi ditugaskan
untuk menengerjakan tugas bersama. Windi memutuskan untuk pergi ke rumah Diva.
Awalnya Diva menolak karena takut jika Windi akan merasa risih berada di
rumahnya yang terletak di perkampungan. Tetapi apa boleh buat Windi sangat
memaksa, jadi Diva terpaksa mengiyakan keputusan Windi.
Sesampainya di rumah Diva, Windi kaget dengan keadaan
rumah Diva. Berbeda dengan rumah Windi yang megah bagai istana, rumah Diva
hanya seperempat dari luas rumahnya.
“Diva, ternyata ini rumahmu?” tanya Windi yang kaget
dengan keadaan rumah Diva.
“Iya, ini rumahku,” jawab Diva seraya menyuruh Windi
masuk. “Ayo masuk.”
“Diva, selama ini kamu tinggal di rumah yang sempit,
gerah, dan banyak sampah di luar?” tanya Windi lagi pada Diva.
“Iya, benar,” jawab Diva sekali lagi sambil
menghidangkan air putih kepada Windi. “Windi, ayo makan dulu. Kamu pasti lapar,
kan?” Diva mengajak Windi makan.
“Iya, kamu benar. Ngomong-ngomong, ke mana ayah dan
ibumu?” Windi masih penasaran.
“Mereka sedang bekerja sebagai buruh tani,” jawab
Diva seraya mengambil piring untuk mereka berdua makan.
Saat tudung saji meja makan rumah Diva dibuka, Windi
kaget karena melihat hanya melihat nasi dan lauk beberapa potong tempe dan tahu
goreng. Windi berkata dalam hati. Ternyata
seperti ini keadaan Diva.
Setelah kejadian itu, Windi jadi sadar bahwa dia
harus menghargai orang tua, tidak boleh malas belajar, dan dia juga harus
berdoa. Dia juga tahu betapa besarnya keinginan Diva untuk berprestasi dan
membanggakan orang tua.
Beberapa hari kemudian, sikap Windi berubah. Dia
menjadi anak yang sopan, berbakti pada orang tua, dan tidak malas mengerjakan
PR. Satu hal yang membuat dia lebih bersyukur lagi atas apa yang Allah berikan
kepadanya karena masih banyak anak-anak di luar sana yang tidak seberuntung
dirinya. Prestasi Windi pun meningkat. Nilai di atas rata-rata pun dia dapatkan
dan dia amat bersyukur atas apa yang dia dapat.
Siang itu, pada saat jam istirahat, Windi menemui
Diva dan memeluknya seraya berkata, “Terima kasih, Diva. Kalau saja aku tidak
ke rumahmu waktu itu dan aku tidak menanyakan semua hal yang kutanyakan padamu,
mungkin aku tidak akan berubah seperti ini. Kaulah inspirasiku, Diva. Sekali
lagi terima kasih.”
“Sama-sama, Windi.
Kamu seharusnya tidak berterimakasih padaku tapi pada Allah. Karena
Dialah kita bertemu dan karena hidayah-Nya, kamu berubah,” ujar Diva.
Windi melepas pelukannya dari Diva lalu berkata,
“Maukah kamu menjadi sahabat terbaikku?”
Diva pun menjawab, “Iya.”
Hari-hari berikutnya,
mereka jalani sebagai sepasang sahabat.
Ditulis kembali oleh Ika Airen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar