Selamat Datang, ^_^ Blog ini disediakan bagi yang suka, yang ingin membaca dan belajar bahasa

Jumat, 20 Agustus 2021

Bunga di Tengah Pandemi

 

Jumlah warga negara Indonesia yang dinyatakan positif virus korona semakin bertambah.

Jakarta menjadi kota dengan kasus Covid-19 tertinggi .

Kasus virus korona di Indonesia masih menunjukkan angka peningkatan.

Kutekan remot dan kumatikan televisi.

Korona lagi, korona lagi.  Setiap hari berita di televisi, koran, dan internet selalu membahas virus itu. Ah biarkan saja. Yang penting aku di sini sehat. Ada bagusnya juga terjadi pandemi. Aku bisa mengerjakan tugas sambil rebahan seperti sekarang ini. Hihihi.

Aku meraih gawaiku. Kubuka salah satu aplikasi chatting. Grup chat kelas selalu ramai selama pandemi korona karena kami—siswa— yang saling bertukar jawaban untuk dikumpulkan kepada guru secara online. Bisa dibilang belajar secara daring bisa membuat kami semakin bodoh dan malas membuka buku. Semua sudah sudah tersedia di internet. Tinggal ketik lalu lakukan pencarian. Salin. Done. Masalah nilai urusan belakang. Terlalu kasar mungkin jika kukatakan demikian tapi inilah kenyataannya. Apakah alasannya? Karena siswa kurang memahami pembelajaran daring. Tentu tidak semuanya, beberapa siswa ada yang mencari guru les selama pandemi demi bisa mengikuti pembelajaran dengan baik.

“Mel, kok malah rebahan? Kamu tidak mengerjakan tugas sekolah hari ini?” tanya Mama yang bersiap berangkat ke kantor.

“Iya, Ma, sebentar lagi.”

YouTube lagi. YouTube lagi.” Aku terkaget dengan suara Mama. Tiba-tiba Mama sudah duduk di dekatku dan memergokiku sedang menonton video musik idolaku. Sontak aku duduk sambil cengar-cengir. “Sebentar kok, Ma, setelah menonton satu video ini, Melati akan belajar. Janji!” Aku mencoba meyakinkan Mama. “Belajar memilih prioritas dong, Mel. Mama tidak melarang kamu menonton idolamu tetapi kamu ebih baik segera menyelesaikan kewajibanmu lalu setelah itu menonton idolamu itu.”

Aku terdiam menyadari kesalahanku. Mama mengambil gawaiku. “Coba lihat, mereka masih sangat muda tetapi sudah bisa sukses dan terkenal di luar negeri. Untuk meraih semua itu pasti mereka berusaha dengan keras. Mereka bisa membuat prioritas dan pasti bukan orang yang suka membuang-buang waktu. Sebagai fans, kamu harus meneladani hal positif dari mereka dong,” ujar Mama sambil mencubit hidungku dengan gemas.

“Aduh, iya, Ma,” aku meringis kecil. “Tapi aku bosan belajar sendiri ditambah lagi terkadang aku tidak bisa memahami pelajaran yang disampaikan guru secara online.”

Mama menghela napas sejenak, “Kenapa kamu tidak mengajak Lily belajar bersama saja? Bukannya dia teman sekelasmu? Ajaklah dia belajar di sini, mumpung ada wifi,” saran Mama.

“Iya juga, ya, Ma. Sebentar lagi aku akan mengajak Lily ke sini.”

“Baiklah, Mama berangkat dulu.” Mama meraih penyanitasi tangan lalu berangkat ke kantor dengan memakai masker.

Selepas Mama pergi, aku pun pergi ke rumah Lily. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Kami tidak begitu akrab meski satu kelas dan bertetangga.

Saat melewati sebuah cafe yang berjarak beberapa rumah dari rumahku tiba-tiba terdengar suara yang cukup gaduh. Aku tak peduli dan tetap melangkah menuju rumah Lily. Cafe itu memang ramai pengunjung dan semakin ramai selama pandemi karena menyediakan wifi. Banyak sekali siswa yang nongkrong sambil mengerjakan tugas dari sekolah. Temanku berkata bahwa untuk bisa menumpang wifi, mereka hanya perlu membayar tiga ribu rupiah. Murah sekali. Tapi aku yakin, mereka hanya merngerjakan tugas daring tak lebih dari satu jam, sisanya mereka memainkan game online.

Ah, apa peduliku!

Aku terus berjalan menuju rumah Lily tapi langkahku berhenti ketika kudengar suara teriakan, “Kamu jangan bohong, Ly! Mengaku saja kalau kamu yang mencuri!” Aku reflek berhenti dan menoleh ke arah cafe itu. Kulihat dengan saksama. Ternyata itu adalah Lily, Ari, dan Danang. Baguslah, aku tidak perlu ke rumah Lily karena bertemu di sini. Mereka terlihat baru saja keluar dari cafe itu. Setengah berlari kuhampiri mereka.

“Aku tidak mencuri!” Kata-kata yang dikeluarkan Lily dari mulutnya itu membuatku tersentak. Setelah dekat, kulihat Lily hampir menangis. “Ada apa sih?” tanyaku pada mereka. Ari menoleh padaku, “Lily mencuri uang Danang, Mel!”

“Aku tidak mencuri!”

“Kamu mencuri, Ly?” tanyaku pada Lily. Lily menggeleng berulang kali.

“Lalu kenapa kamu tadi ada di meja kami?” Danang mencecar Lily dengan pertanyaan.

“Aku.......”

“Apa? Kamu tidak bohong lagi!” Ari berteriak lagi

“Kamu jangan berteriak, Ar. Malu kalau sampai terdengar orang lain.”

“Biar saja! Biar orang-orang di desa ini tahu kalau dia pencuri! Lihat saja gawainya. Layarnya saja sudah retak. Mungkin itu juga hasil curian.”

Stop! Kamu keterlaluan!” Kulirik gawai di tangan Lily. Gawai itu memang memiliki banyak retakan. Lily mulai menangis tapi dia segera menyeka air matanya.

“Sebenarnya awalnya gimana sih? Bisa saja bukan dia pencurinya.” Aku mencoba meredakan keadaan. Sepengetahuanku, Lily berasal dari keluarga kurang mampu. Ibunya seorang janda yang bekerja sebagai buruh. Ayahnya meninggal saat dia kelas 6 SD. Tapi aku yakin Lily bukan seorang pencuri. Di kelasku saja tidak pernah ada yang mengalami kehilangan barang.

“Aku dan Danang setiap hari mengerjakan tugas sekolah pakai wifi di sini. Tadi setelah kami menyelesaikan tugas kami langsung mau pulang tapi saat baru saja keluar dari cafe ini Danang teringat uang kembalian yang tertinggal. Kami kembali lagi tapi uang Danang tidak ada dan Lily sudah duduk di meja kami. Aku juga sering memergoki dia melihat kami dengan tatapan yang mencurigakan. Ternyata sekarang terbukti kalau dia mencuri.”

“Aku tidak mencuri, Ar.”

“Oke, kita cek sekali lagi,” kataku pada Ari.

“Kami sudah mencarinya, Mel, tapi tidak ada.”

“Aku mau membuktikan sendiri. Mungkin saja kalian tidak mencarinya dengan teliti.” Lalu kami berempat kembali ke meja cafe  yang dimaksud oleh Ari. Para pengunjung yang lain sudah mulai melihat kami dengan aneh. Aku, Ari, dan Danang mulai mencari-cari lagi di bawah meja dan kursi tapi kami tidak melihat selembar uang pun. Tiba-tiba mataku tertuju ke arah kotak tisu dan yang ada di tengah meja. Reflek saja kuangkat kotak tisu itu dan ternyata di sana ada selembar uang lima ribuan dan dua ribuan.

“Itu uangmu, Nang!” kata Ari kaget. Danang langsung mengambil uang itu. Aku dan Lily bertatapan lalu kami melihat ke arah Ari dan Danang. Ingin sekali aku memarahi mereka. “Jadi?” tanyaku pada Ari dan Danang sambil menghela napas.

“Ah.. aku baru ingat tadi aku sempat memainkan kotak tisu ini saat bosan. Mungkin aku tidak sengaja meletakkan uangku di bawah kotak tisu itu,” Danang menjelaskan dengan pelan. Dia terlihat sangat malu.

“Makanya lain kali jangan menuduh orang sembarangan tanpa bukti!” jelasku kesal.

“Kami minta maaf sudah menuduhmu, Ly.” Ari dan Danang mengulurkan tangan pada Lily. Lily menyambut tangan mereka sambil mengangguk. Dia terlihat kecewa sekaligus lega.

“Kami pulang dulu ya, Mel, Ly.” Ari dan Danang pergi berlalu. Aku dan Lily juga melangkah keluar cafe.

“Makasih ya, Mel. Kamu sudah membuktikan kalau aku tidak mencuri,”

Aku mengangguk. “Ngomong-ngomong, Ly, bolehkah aku menanyakan sesuatu? Tapi jangan tersinggung, ya.” Lily mengagguk. “Tadi Ari bilang kalau kamu melihat mereka dengan tatapan mencurigakan?” tanyaku hati-hati karena takut menyinggung perasaannya. Kulirik gawai yang dipegangnya. Sepertinya Lily menyadarinya.

Lily tersenyum dan mengangguk. “Sebenarnya ibuku terkena PHK karena pandemi korona.”

DEG, aku menyesal telah bertanya padanya.

“Sekarang ibuku bekerja jika ada ada orang yang meminta tolong mencucikan baju atau membersihkan pekarangan. Lalu gawai ini kubeli dari hasil tabunganku sejak awal masuk SMP. Untunglah uangnya cukup untuk membeli gawai yang memang sudah banyak retakannya begini. Tapi ini masih bisa digunakan dengan baik kok,” Lily menjelaskan dengan senyumnya yang terlihat tulus. “Lalu beberapa hari ini kuota internetku habis makanya aku ke sini supaya tetap bisa mengerjakan tugas dari sekolah sekaligus mengumpulkan sampah botol dan gelas plastik untuk kujual. Uangnya akan kugunakan untuk membeli kuota internet.”

DEG, lagi-lagi aku dibuat terkejut. Aku merasa seperti tersindir dari ucapan Lily barusan.

“Sebenarnya aku malu bercerita seperti ini tapi kamu sudah menolongku jadi aku tidak keberatan untuk menceritakannya.” ucapnya lagi sambil tersenyum. Aku masih bergeming mendengar jawaban Lily. “Baiklah, aku pulang dulu ya, Mel. Sekali lagi terima kasih.”

“Tunggu, Ly.” Aku mencegahnya. Lily mengurungkan langkahnya. “Aku sebenarnya mau mengajakmu ke rumahku.” Aku mengutarakan niat awalku.

“Untuk apa?” Lily terlihat semakin penasaran.

“Jadi begini, selama pandemi ini apa kamu tidak bosan belajar sendiri? Aku benar-benar bosan belajar sendirian. Bagaimana kalau kita belajar bersama saja? Di rumahku ada wifi. Kita juga pasti akan lebih cepat memahami pelajaran dari guru jika kita melakukannya dengan berdiskusi,” ujarku bersemangat tapi dengan nada hati-hati. Aku takut mengatakan sesuatu yang membuatnya tersinggung dan terkesan menyombongkan diri karena di rumahku tersedia wifi.

“Lalu aku harus membayar berapa?”

“Bayar?” Aku menggeleng. “Kamu tidak perlu membayar. Aku mengajakmu belajar bersama bukan menyewakan wifi rumahku.”

Aku berharap Lily menerima tawaranku. Aku menunggu jawabannya tapi yang kulihat adalah mata Lily yang berkaca-kaca.

“Kamu kenapa menangis? Aku salah bicara, ya?”

Lily menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Kamu tidak salah bicara, Mel. Aku mau belajar bersama denganmu dan aku berterima kasih sekali.”

Aku lega karena Lily mau kuajak belajar bersama. Kupeluk dia dengan erat, “Terima kasih kembali, Lily.” Mungkin dia tidak tahu bahwa aku sungguh-sungguh mengucapkan terima kasih kepadanya. Dia membuatku sadar bahwa tidak seharusnya aku bermalas-malasan sedangkan yang kubutuhkan sudah tersedia tanpa aku harus bersusah payah. Padahal di luar sana masih banyak yang kesusahan akibat pandemi ini tetapi mereka masih berusaha untuk melanjutkan hidup dengan baik. Kurasakan air mata mengalir di pipiku. Segera kuhapus air mataku sebelum Lily mengetahuinya. Kini aku berjanji untuk lebih menghargai waktu dan belajar membuat prioritas seperti kata Mama. Terima kasih, Lily. Di tengah pandemi ini, kau adalah bunga yang tetap mekar menebarkan wanginya yang membuat keadaan menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar