“Bagaimana kabarmu? Ini kunjunganku yang ke dua ratus enam puluh empat.” Kuletakkan seikat bunga itu. “Hari ini aku sangat bahagia, tapi sekaligus kesal. Akhirnya aku meraih gelar sarjanaku,” ucapku sambil tersenyum. “Tapi aku kesal karena kamu melanggar janji. Kau bilang, kita akan lulus bersama-sama, tapi ternyata kau meninggalkanku dulu.”
Kutatap lekat-lekat batu nisan di depanku. Aku
masih bisa melihat dengan jelas nama yang tertulis di sana, sejelas ingatanku
pada wajah dan senyummu. Ingatanku tentangmu tiba-tiba terlintas tak beraturan.
“Permintaanmu mungkin terwujud,” aku bergumam.
Ucapanmu di saat-saat terakhir seperti kembali
kudengar. “Aku akan bahagia kalau ada orang lain yang menggantikanku untuk
menjagamu.”
Waktu itu aku tak mau mendengarkanmu. Mendengarkanmu
berkata seperti itu, membuatku merasakan sesuatu yang mengiris. Benar-benar
sakit. Juga mengerikan.
“Aku akan bahagia kalau aku bisa melihat
senyummu dari sana,” katamu lagi, seolah tak menghiraukanku
yang terus terisak.
Kau terus-terusan berbicara tentang bahagiamu,
tapi kau tak peduli pada perasaanku. Kau tahu? Senyumku, bahagiaku, itu
karenamu. Sampai sekarang, aku juga selalu tersenyum ketika mengunjungimu
setiap minggu. Juga seperti saat ini.
“Jangan lupa ya, ceritakan laki-laki itu, kalau
kamu datang mengunjungiku,” pintamu waktu itu. Saat itupun kau masih bisa berkata
sambil tersenyum, padahal tubuhmu terkulai. Rasa sakit ketika melihat tubuh
tegapmu terkulai lemas masih terasa sampai sekarang.
Mengenai permintaanmu itu, aku berusaha
memenuhinya. Meskipun mereka bukan laki-laki yang kaumaksud. Entah kenapa
sepertinya aku tak bisa menggantimu. Kalau aku mau membuka mata, tentu banyak
sekali usaha para lelaki itu untuk mendapatkanku.
“Kalau aku mau membandingkan lagi, bahkan
usahamu dulu ketika mendapatkanku tidak seberapa bila dibandingkan dengan
mereka,” aku berkata sambil tersenyum geli, seolah bercanda.
Kau masih ingat dengan Dion? Laki-laki yang
selalu mengikuti aktivitasku di kampus, bahkan meskipun tahu kalau aku ini
adalah kekasihmu. Dan apa responmu? Kau hanya tertawa geli saat melihat ada
orang yang bersikap seperti itu pada kekasihmu. Saat itu, aku selalu saja akan
marah-marah tidak jelas padamu. Aku merasa kau tidak peduli jika kekasihmu
diambil orang. Tapi akhirnya aku tahu, kau begitu karena kau tahu aku takkan
peduli padanya. Kau benar. Aku hanya peduli padamu. Tapi setelahnya kau
menyesal kan? Di saat terakhirmu, kau malah dengan sengaja memuji Dion di depanku.
Tanpa kau jelaskan, akupun tahu maksudmu. Kau berharap dialah yang bisa
menggantikanmu? Tentu kau sangat kecewa ketika melihat raut wajahku, dan
mendapati jawaban ‘tidak’. Setelah kepergianmu, Dion benar-benar seperti
penguntit, bahkan aku sampai muak.
“Tapi kau masih ingat cerita selanjutnya
tentangnya bukan?” aku bertanya padamu, seolah ingin mengetes ingatanmu. “Itu sekitar
setahun dari kepergianmu,” kataku lagi. “Dion sudah menemukan lautnya, dan itu
bukan aku.”
Laut? Aku masih ingat kesukaanmu itu. Laut.
Itulah yang paling kausuka. Katamu, hidup itu seperti air yang mengalir. Kau
pernah bertanya padaku, manakah yang aku pilih, air yang mengalir atau air yang
diam dalam kubangan? Kujawab, air yang mengalir. Dan kau memberiku dua acungan
jempol. Hidup itu seperti air yang mengalir. Air yang akan terus mengalir walau
apapun yang menghalanginya.
Kau bilang, saat cobaan yang kita alami mudah,
maka kita akan segera menyelesaikannya. Sama seperti air yang melewati sungai
yang dangkal. Apabila cobaan yang kita alami terasa berat, kita akan kesulitan
menyelesaikannya. Tapi, bukan berarti kita tak bisa melewatinya. Sama seperti
air yang melewati sungai yang dalam. Air itu tetap akan mengalir.
Perlahan-lahan mengalir, sampai akhirnya akan sampai pada lautan yang tenang.
Aku terkagum mendengar ucapanmu waktu itu.
Sekarang aku jadi berpikir, apakah hal itu
yang membuatku mencintaimu? Aku bertanya dalam hati. Dan tiba-tiba saja,
sesosok wajah muncul dalam benakku. Arya. Kau masih ingat dia? Kalau aku
mencintaimu karena kau pandai berbicara tentang hal-hal yang indah, kenapa aku
tidak mencintai Arya? Kurasa dia lebih pandai berbicara daripada dirimu.
Seorang yang berwawasan tinggi. Supel. Baik hati dan juga jujur. Perlakuannya
padaku juga baik seperti dirimu. Apakah cintaku padamu sudah terlalu buta? Aku
sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu.
Kau pernah bilang padaku, bahwa kau lebih
menyukai ketulusan daripada kenyamanan.
“Aku lebih menyukai orang yang tulus,
dibandingkan orang yang bisa membuatku nyaman,” begitu katamu ketika aku menanyakan
pasangan seperti apa yang kausuka. Aku tersenyum lebar mendengar ucapanmu itu.
Kau bilang, tulus? Seperti kau tahu saja
tentang ketulusanku padamu. Tapi, itu malah membuatku penasaran. Apakah
terkadang aku malah membuatmu merasa tidak nyaman? Ketika aku menanyakannya
padamu, kau bilang yang terpenting bagimu adalah aku merasa nyaman denganmu.
Kau ingat ceritaku bahwa akupun merasa nyaman bersama dengan Arya? Tapi
entahlah, sepertinya itu tak lebih dari sekedar rasa nyaman. Kalau berbicara
ketulusan, mungkin Dika termasuk di dalamnya.
Ceritanya masih berlanjut sampai sekarang. Selama
tiga tahun terakhir ini, Dika masih memintaku untuk menjadi kekasihnya. Dia
selalu meyakinkanku kalau dia benar-benar mencintaiku.
“Menurutmu, apakah dia tulus?” aku bertanya
sambil memegang batu nisan di depanku.
Kenapa aku lupa menanyakan padamu cara untuk
mengetahui ketulusan seseorang? Kau pasti bisa menjawabnya. Lagipula, kenapa
kau tak pernah menjelaskan sesuatu tentang ketulusan? Ting Tong! Sesuatu
terkoneksi di kepalaku. Apakah karena ketulusan itu hanya bisa dirasakan, dan
tak bisa dijelaskan? Aku menghela nafas sejenak.
“Seharusnya kau menjelaskannya sedikit saja,”
gumamku lagi.
Aku pernah menanyakan alasan Dika menyukaiku.
Dia bilang, dia tak menemukan alasannya. Sepertinya kalimat itu sudah
seringkali aku dengar dari anak SMA, juga saat aku masih sekolah. Tentu kau
juga masih ingat ceritaku tentang hal itu bukan? Mereka bilang, ketika
mencintai seseorang karena kebaikannya pada kita, maka itu bukan cinta, tapi
balas budi. Ketika mencintai seseorang karena ketampanan, kecantikan, dan budi
pekertinya, maka itu bukan cinta tapi hanya sebuah kekaguman. Ketika kita tak
menemukan alasan mengapa kita mencintai seseorang, maka itulah cinta
sesungguhnya. Benarkah begitu? Aku suka menanyakan hal-hal seperti itu padamu.
Aku masih ingat, aku pernah menanyakan alasanmu
mencintaiku. Aku juga masih ingat jawabanmu waktu itu.
“Kalau aku, banyak hal yang kusuka darimu.
Kurasa aku tak bisa menyebutkannya satu persatu. Membedakan suka, kagum, dan
cinta, itu terlalu sulit. Ribet. Yang kutahu, kamu yang dipilih hatiku,” begitu
katamu.
Jawaban yang kau berikan benar-benar berbeda. Paling
tidak, bagiku itu terasa berbeda, meskipun aku tak begitu mengerti maksud kata
‘dipilih’ yang kauucapkan. Aku juga ingat kau menjawabnya sambil cengengesan.
Selalu begitu. Kau sering menanggapi keseriusanku dengan bercanda. Sering juga
menanggapi candaanku dengan serius. Aku tersenyum teringat tentangmu sekali
lagi.
Tapi, sepertinya satu lagi kata yang mirip
dengan suka, kagum, dan cinta.
Obsesi.
Kau tahu itu? Aku belum menceritakannya
padamu. Kau ingat Yudha? Laki-laki yang punya hobi menebak-nebak karakterku
itu. Aku sedikit risih juga ditebak-tebak seperti. Aku memang akui, tebakannya
padaku seringkali benar. Katanya aku adalah orang yang cenderung pada hal-hal
besar, bukan hal-hal kecil. Katanya juga, aku menyukai perhatian yang tak
terduga. Katanya juga, aku bukan orang yang manja, tapi suka berbicara dengan
manja dan dimanja. Dia memang mengagumkan. Sepertinya tak sulit untuk ingin
dimengerti olehnya. Tapi tetap saja, aku merasa biasa saja.
Kau ingat, ketika aku bercerita padamu bahwa
Yudha pernah berkata kalau dia tidak suka melihatku dengan orang lain. Selalu
saja seperti ada yang meledak dalam dirinya, ketika aku dekat dengan laki-laki
lain. Tapi, aku juga heran ketika mendengar pengakuannya bahwa dia tak pernah
merasa berdebar ketika bersamaku. Yudha sendiri sebenarnya juga heran. Perasaannya
terhadapku sepertinya hanya sekedar obsesi ingin memiliki. Darimana aku tahu
itu? Tentu saja aku tahu itu. Berdebar. Itu yang kurasakan padamu.
“Sayang, kenapa kamu selalu tahu kalau aku
akan datang?” kau pernah bertanya padaku dengan raut wajah yang terlihat sangat
penasaran. Aku tersenyum geli saat itu.
Kau tahu? Itu karena jantungku berpacu lebih
cepat ketika ada dirimu. Bahkan sepertinya ‘sinyal’ itu terlalu kuat. Jantungku
selalu saja tiba-tiba berdebar saat kau akan datang atau bahkan hanya sekedar
lewat. Karena itu, aku selalu tahu kau akan datang, ataupun hanya sekedar lewat
di depanku. Aneh memang. Ketika aku menceritakannya pada temanku, ia pun sempat
terheran. Aku tak tahu apakah pasangan lain juga merasakan seperti yang
kurasakan.
Kau tahu? Kali ini aku merasakan hal yang
sepertinya hampir sama. Kalau dulu aku selalu merasakan kehadiranmu, sekarang
aku selalu merasa seolah bisa merasakan perasaan seseorang. Aku merasa
seolah-olah tahu apa yang ingin dilakukan dan dirasakan olehnya. Nama orang itu
adalah “Rian”.
Aku menceritakannya padamu sekitar dua bulan
lalu. Mungkinkah dia yang bisa menggantikanmu? Tidak. Tak ada yang bisa menggantikanmu.
Kamu adalah kamu, dan Rian tetap Rian. Kalian berdua berbeda. Dia tak mudah
mengutarakan apa yang dia inginkan, tidak sepertimu yang selalu blak-blakan.
Dia selalu bertanya terlebih dahulu untuk memastikan apa yang aku suka. Tentu
tak bertanya secara langsung. Mungkin lebih tepat kalau disebut pertanyaan
pancingan. Pernah juga suatu ketika dia ingin membelikanku sebuah hadiah, dan
seperti biasa ia mengeluarkan kalimat-kalimat pancingan. Aku tersenyum geli
mengingat Rian dalam benakku.
Ah, kalau membicarakan hadiah, aku jadi
teringat si Revan. Si playboy yang
mengaku ‘tobat’ setelah mengenalku. Kau masih ingat dia pernah mengaku
memutuskan hubungan dengan seluruh kekasihnya karena diriku? Sampai sekarang,
aku masih tak tahu apa yang membuatnya begitu hanya karena diriku. Sebenarnya
sampai sekarang dia masih menyukaiku, meskipun tidak mengejarku seperti dulu.
Dia cukup menyebalkan ketika selalu memberiku hadiah. Bunga, boneka, coklat,
hingga kalung. Aku juga cukup kasihan ketika harus selalu menolak pemberiannya.
Hal itu juga sedikit membuatku merasa seperti perempuan yang cukup jahat karena
tidak menghargai satupun dari pemberiannya. Sebenarnya, aku menyukai sebagian
besar benda-benda yang diberikan Revan. Dari dulu aku memang seperti itu.
Sedikit boros.
Aku melirik jam tanganku. Tidak, lebih
tepatnya jam tangan kita. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Selama ini aku
selalu memakai jam tangan ini.
“Kamu harus menabung dulu,” itulah yang selalu
kau ucapkan ketika aku menginginkan sesuatu sementara aku sedang tak memiliki
cukup uang.
Akhirnya kau selalu membelikanku celengan dan
memintaku untuk menabung. Caramu itu seperti anak kecil tapi cukup membantuku
yang tidak hemat ini. Setiap hari kau selalu memaksaku untuk menyisakan uang
saku untuk ditabung. Ketika akan menabung, kau menentukan jumlah nominal yang
harus kutabung setiap harinya.
“Harus setiap hari lho ya!” selalu begitu
katamu.
Kau juga tidak mengizinkanku membayar dobel
ketika aku memiliki uang lebih. Katamu, itu akan membuatku tidak konsisten. Aku
akan nyengir lebar ketika kau berkata begitu. Rupanya kau tahu, aku ingin
menabung dobel agar keesokan harinya aku tak punya beban dan bisa menghabiskan
uang sakuku. Setelah dirasa cukup, maka kau juga yang akan membuka celengan itu
dan mengajakku membeli barang yang kuinginkan. Seperti jam tangan ini. Kau juga
sering memberi tambahan uang tabunganku sebagai hadiah karena aku telah rajin
menabung.
“Kau curang,” aku bergumam.
Aku selalu menurutimu, tapi kau tak mau
menurutiku. Kalau kau menurutiku, mungkin kau takkan meninggalkanku. Ratusan
kali aku berkata agar kau tidak mengebut ketika mengendarai motor tapi kau tak
acuh.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Lamunanku buyar.
Kuambil HP dari tas dan kulihat gambar amplop. Rian mengirimiku pesan. Ya, hari
ini dia akan ke rumahku.
“Apakah ini tanda kalau aku jatuh cinta lagi?”
aku bergumam. Tapi ucapanku itu malah seperti terdengar meminta persetujuanmu.
Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai
mencintainya. Aku sangat tahu dia bukan tipeku tapi entahlah kurasa aku
menyukainya. Aku teringat jawabanmu ketika aku bertanya apakah aku ini tipemu.
“Cinta itu tak bersyarat,” itu yang kau jawab.
Awalnya aku merasa biasa saja tapi tiba-tiba
aku merasa menyukainya. Sebenarnya, aku tak begitu suka ketika dia mulai
menunjukkan perasaannya lewat tingkah lakunya. Tapi, lama-kelamaan aku
menyadari perasaanku. Uniknya, dibandingkan semua laki-laki yang pernah
kuceritakan padamu, dialah yang tidak mengejarku secara berlebihan.
Rian berbeda denganmu. Sepertinya, ada sifatku
yang lain yang muncul ketika bersamanya dan itu tidak muncul ketika aku
bersamamu. Tapi aku tidak tahu sifatku yang seperti apakah itu. Aku hanya
merasakannya saja.
“Aku akan bahagia kalau ada orang lain yang
menggantikanku untuk menjagamu,” ucapanmu itu kembali terngiang.
Sepertinya, kau takkan pernah terganti. Kau
tahu? Rian mengetahui hal ini.
Kau mampu membuatku selalu bersemangat. Tapi
Rian… padanya aku ingin menjadi penyemangat. Kau mengajarkanku banyak hal. Dan
Rian membuatku memahami banyak hal.
Sekarang, aku juga memahami maksud dari
ucapanmu. Kata “dipilih” yang kauucapkan itu. Aku memahami kata itu sekarang.
Meski begitu, aku selalu mencintaimu. Kurasa, kau ditakdirkan untuk selalu
kucintai. Cinta pertamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar